SAUMLAKI, FordataNews.com — Suasana di Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) mendadak memanas. Ratusan warga Desa Sifnana yang juga merupakan umat Kuasi Paroki Tritunggal Maha Kudus – Sifnana, pada Jumat (10/10/2025), menggeruduk Kantor DPRD KKT menuntut Wakil Ketua I DPRD, Resa Fordatkossu, untuk mundur dari jabatannya.
Aksi tersebut dilakukan buntut dari dugaan sikap intoleran Resa terhadap upaya pembangunan Aula Peribadatan Umat Katolik di Desa Latdalam.
Warga menilai, tindakan Resa telah menimbulkan keresahan dan mengancam toleransi dan kerukunan antar umat beragama di wilayah itu.
DESAK PROSES HUKUM & PAW
Sebelum memadati Gedung DPRD, massa terlebih dahulu mendatangi Polres Kepulauan Tanimbar untuk menuntut agar pihak kepolisian memproses hukum Resa Fordatkossu bersama dua nama lain, yakni Eko Falirat dan Cande Refualu, yang diduga turut memicu gesekan intoleran di lapangan.
Tak berhenti di situ, gelombang massa kemudian bergerak menuju kantor DPTD Partai Keadilan Sejahtera (PKS) KKT, mendesak Ketua PKS Gaspers Thiodorus segera melakukan Pergantian Antar Waktu (PAW) terhadap Resa sebagai kader partai.
“Kami datang bukan untuk gaduh, tapi untuk menuntut keadilan dan menjaga keharmonisan antar umat beragama di Tanimbar. Kalau pejabat publik bersikap intoleran, dia tidak layak duduk di kursi dewan,” tegas Oce Fenanlampir, Tokoh Pemuda Sifnana, di hadapan massa.
AKAR MASALAH
Kisruh bermula dari gagalnya rencana pembangunan Aula Peribadatan Umat Katolik di atas lahan bersertifikat Nomor 03163 milik Charles Fordatkossu.
Tanah itu sebelumnya dijual oleh ayah Charles, Marten Fordatkossu, kepada pihak Kuasi Paroki Tritunggal Maha Kudus – Sifnana untuk keperluan pembangunan Gedung Aula Katolik.
Namun, pembangunan terhenti setelah muncul larangan adat berupa “Sweri” (janur kelapa) yang dipasang di lokasi tersebut — sebuah simbol tradisi Tanimbar untuk menandai tanah larangan.
Padahal tujuan Aula tersebut dibangun untuk keperluan peribadatan Umat Katolik, bahkan Aula tersebut bisa juga digunakan umat atau jemaat lainnya ataupun masyarakat lainnya jika diperlukan kedepannya.
Informasi yang dikantongi media ini, pemasangan sweri itu dilakukan atas campur tangan Resa Fordatkossu, dengan alasan bahwa tanah tersebut bukan milik Charles, melainkan milik pihak lain. Media ini pernah melansirnya.
Baca Juga :
Saksikan Buka Sweri Tanah di Latdalam, Ini Permintaan RD Yono Temorubun
Saksikan Buka Sweri Tanah di Latdalam, Ini Permintaan RD Yono Temorubun
Tindakan inilah yang kemudian memicu kemarahan warga dan dianggap sebagai bentuk nyata intoleransi terhadap kegiatan keagamaan.
SIKAP DPRD
Menanggapi aksi besar-besaran itu, Ketua DPRD KKT Ricky Laurens Anggito, bersama Wakil Ketua II Apolonia Laratmase dan Wakapolres Wilhelmus Minanlarat, menggelar mediasi terbuka di ruang rapat utama DPRD.
Resa tidak berani hadir langsung mempertanggungjawabkan sikapnya di hadapan massa aksi.
Dalam pertemuan tersebut, Laratmase menegaskan bahwa DPRD akan menindaklanjuti laporan warga sesuai mekanisme hukum dan etik lembaga.
“Untuk proses di Lembaga DPRD, kompas kami akan proses sesuai tata tertib dan kode etik yang mengatur tindak-tanduk serta sikap Anggota DPRD,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan bahwa tuntutan masyarakat untuk menindak Resa Fordatkossu akan segera dibahas di Badan Kehormatan (BK) DPRD, dengan tenggat waktu 3×24 jam sebagaimana disepakati bersama massa aksi.
“Jika terbukti melanggar kode etik dan mencederai prinsip kebhinekaan, PAW sangat mungkin dilakukan, sesuai mekanisme partai dan keputusan lembaga,” tegasnya.
UJIAN TOLERANSI DI BUMI DUAN LOLAT
Aksi warga Sifnana hari ini menjadi peringatan keras bagi seluruh pejabat publik di Kepulauan Tanimbar agar tidak bermain api dengan isu agama.
Masyarakat menuntut keteladanan, bukan konflik yang lahir dari ego pribadi dan kepentingan politik.
Baca Juga :
Terburuk Sepanjang Sejarah, DPRD Minta Bupati La Hamidi Segera Copot Kadis Kesehatan Bursel.
Insiden ini kini menjadi ujian nyata bagi DPRD dan Polres KKT, apakah mampu bertindak tegas dan adil, atau justru membiarkan potensi intoleransi tumbuh subur di tanah Duan Lolat yang selama ini dikenal rukun dan damai. (*)